Recent Post

Breaking News
Loading...
Rabu, 17 Desember 2014

Resume 13 : Tawazun

Tawazun artinya keseimbangan. Sebagaimana Allah telah menjadikan alam beserta isinya berada dalam sebuah keseimbangan (67: 3).
Manusia dan agama lslam kedua-duanya merupakan ciptaan Allah yang sesuai dengan fitrah Allah. Mustahil Allah menciptakan agama lslam untuk manusia yang tidak sesuai Allah (30: 30). Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa manusia itu diciptakan sesuai dengan fitrah Allah yaitu memiliki naluri beragama (agama tauhid: Al-Islam) dan Allah menghendaki manusia untuk tetap dalam fitrah itu. Kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid, itu hanyalah karena pengaruh lingkungan (Hadits: Setiap bayi terlahir daIam keadaan fitrah (Islam) orang tuanyalah yang menjadikan ia sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi).
Allah SWT menciptakan langit dan semua isinya dengan tawazun
55:7-9 ada 3 sikap:
Tawazun: وَوَضَعَ الْمِيزَانَ à وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ
Jangan berlebihan: أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
Jangan mengurangi: وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Ada perintah dan larangan agar tetap menjaga keseimbangan (tawazun)
Manusia memiliki tiga dimensi dalam hidupnya: dimensi fisik, dimensi akal, dan ruhani. Dimensi fisik sedemikian mudah dikenali dan dirasakan secara kasat karena kondisi fitrahnya demikian. Sedangkan dimensi akal dan dimensi  ruhani tak tampak (unseen) karena memang tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Namun, kewujudannya bisa dirasakan, baik oleh individu yang bersangkutan maupun oleh orang lain melalui interaksi jiwa dan pandangan-pandangan pemikirannya.
Kondisi fisik, akal, dan jiwa merupakan satu kesatuan dalam diri manusia. Sedangkan manusia itu sendiri secara fitrah terikat dengan Islam yang sudah dijamin oleh Allah SWT mengenai keterkaitan keduanya, sebagaimana tertera dalam surah Ar-Ruum ayat 30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada dien yang hanif (agama Allah); tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia dengan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah  Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Ayat tersebut menyiratkan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan fitrah Allah (sunnatullah, secara umum sebagian manusia menyebutkan “hukum alam”). Dengan demikian dapat pula ditarik keyakinan bahwanya tidak ada manusia yang tak beragama. Karena pada faktanya manusia membutuhkan sandaran hidup yang tak tampak itu. Manusia selalu mencari kekuatan gaib yang dianggap menguasai alam semesta ini.
Ketiga dimensi yang terdapat dalam diri setiap manusia itulah yang semestinya dapat menyeimbangkan hidupnya; jangan sampai ada salah satu dimensi yang ditentangkan dengan dimensi lainnya. Misalnya orang yang hanya mementikan masalah fisik atau jasadnya semata, sementara akal dan jiwanya tak dirawat atau dioptimalkan untuk mendukungnya, maka akan terjadi keabnormalan hingga kebinasaan.
Dimensi akal dan jiwa memang, seperti disinggung di atas, tidak tampak secara kasat mata, namun dapat dirasakan keberadaannya. Jika untuk mendeteksi masalah jasad kita dapat merasakannya langsung saat kita merasa lapar, maka untuk mendeteksi akal dan jiwa kita dapat merasakannya dengan rasa takut, gembira, sedih, kreatif, dan sebagainya.
Baik jasad, akal, dan jiwa, ketiganya membutuhkan asupan atau santapan yang secara fitrah pula telah Allah takdirkan bagi makhluk-Nya. Manusia sangat membutuhkan asupan makanan dan minuman untuk menghindari diri dari kebinasaan. Meski terdapat banyak sumber makanan yang melimpah di dunia ini, namun Allah yang Maha Mengetahui menitahkan manusia untuk menyediakan makanan dan minuman yang baik lagi halal (halalan thayyiban) sebagaimana firman-Nya, “Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Untuk orang-orang yang sudah memiliki keimanan, pada ayat 172 surah Al-Baqarah, Allah SWT juga menyeru, “Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” Orang-orang beriman, karena kesadarannya, akan memenuhi persyaratan asupan makanan dan minuman yang semestinya masuk ke dalam jasadnya, yaitu yang baik dan halal. Keduanya jadi satu kesatuan yang utuh. Bukan hanya makanan itu dinilai baik oleh pandangan manusia, tapi juga baik dan halal dalam pandangan Allah SWT.
Jika makanan yang secara material tampak kasat mata, itu untuk memuaskan atau demi melestarikan kelangsungan hidup manusia, maka kelangsungan akal dan jiwa manusia juga harus tetap terawat. Sebab, jika dua dimensi ini tidak dirawat dan diperhatikan dengan baik sebagaimana perawatan jasadnya, maka dipastikan akan menuai ketidaksehatan dalam hidup seseorang. Out put dari tidak diperhatikannya akal dan jiwa antara lain dapat dilihat dari sifat dan sikap seseorang. Orang yang menggunakan akal dan jiwanya melalui panduan yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan selamat. Hidupnya seimbang (tawazun).

0 komentar :

Posting Komentar

 
Toggle Footer